Setelah 7 bulan hanya sekedar melewati tempat itu, akhirnya
aku dan mama memberanikan diri untuk sekedar berkunjung.
Masih membekas dalam ingatanku betapa seringnya dulu kami
kesana bersama papa. Setiap ada salah satu dari anggota keluarga kami berulang tahun,
tidak ada yang minta perayaan di restoran mewah
ataupun hotel ternama. Kami selalu meminta untuk datang ke tenda mungil
di tepi jalan itu.
Soto pak kumis namanya. Rasanya mungkin biasa saja, bahkan
bagi sebagian orang soto jeroan seperti itu amat menjijikan. Tapi bagi kami,
kami jatuh cinta pada makanan itu sejak kami masih jabang bayi. Lebih lama dari
itu. Sejak papa dan mama mulai pacaran, dua puluh dua tahun lalu.
Soto pak kumis tidak hanya menyuguhkan kelezatan tetapi juga
ingatan indah dalam setiap mangkuknya.
Tempat makan soto pak kumis selalu buka seetelah magrib dan biasanya
ramai betul suasananya. Jadi jika kami tiba terlalu larut, pasti sudah
kehabisan.
kami empat bersaudara selalu punya cara untuk kembali ke
sana meski tak ada satupun di antara kami yang sedang berulang tahun. Kami
tidak sarapan atau bahkan makan siang agar bisa melahapsoto dengan sepuasnya.
Maka bagi kami, inilah “all you can eat” sesungguhnya.
Lalu kami bilang sama papa kalau kami belum makan dari pagi. Selanjutnya kami bujuk
saja papa agar membawa kami ke sana. Tepat seperti dugaan kami, papa selalu
mudah dirayu. Papa mengiyakan dan lupa kadar kolesterol dan asam uratnya yang
tinggi-dulu kami tidak tahu kalau papa menyimpan profil lipid yang di ambang
batas. Papa tidak peduli dengan kesehatannya. Baginya yang terpenting adalah
sukacita bersama keluarga. Makan malam bersama adalah hal mewah bagi kami. Kami
jarang sekedar berkumpul untuk makan malam di rumah, jadi soto ini ya bisa
dibilang adalah penyatu kami.
Kami selalu dan entah mengapa selalu saja beradu mulut
sebelum tiba di tempat itu. Apa saja bisa menjadi bahan bertengkar, mulai dari
hal mungil sampai paling raksasa.
Sesampainya disana kami berlomba untuk duduk dekat papa,
karena papa yang paling pasrah kalau daging jatahnya diambil tangan-tangan
mungil anak-anaknya yang terkasih.
Papa selalu bilang “boleh pesan yang banyak
asalkan harus habis” maka kalimat inilah yang menciptakan karakter kerakusan
dalam diri kami. Tapi kerakusan yang bertanggung jawab. Jadi bukan masalah toh.
Mama selalu bilang “lepas kancing celana kalau sudah kekenyangan” ini dia
pembentuk perut-perut buncit kami yang sampai saat ini masih kami pelihara.
Detik detik terakhir ketika kami akan pulang, papa selalu
pakai modus lupa dompet untuk mengelak dari kewajiban membayar mangkuk-mangkuk
soto kami. Dan mama selalu manyun kalau disuruh bayar semuanya.
Lalu kami pulang dengan perut kenyang dan rasa puas seperti
telah melahap jutaan mangkuk surga. Seringkali saat perjalanan pulang. Adik
laki-lakiku terkentut-kentut karena kekenyangan. Secepat kilat dengan keadaan
setengah tersedak kentut-sambil menahan nafas setahan-tahannya-kami membuka
jendela mobil lalu menghina-dina si kecil
Sesampainya di rumah kami tidur pulas tidak peduli apa yang
kami makan akan jadi lemak. Bahkan sampai pagi hari pun, rasa kenyang itu masih
bertengger dalam perut kami.
Malam tadi aku datang lagi kesana bersaama mama. Semua masih
sama; warna tenda pak kumis yang tetap biru, angin malam, pemusik jalanan dan
penjualnya pun tetap sama. Hanya saja malam itu begitu sepi, bukan saja karena
sudah larut malam tapi juga kami hanya berdua, dan tak ada papa.
malam itu kami memesan porsi kecil dan menghabiskannya cepat. Saat
akan membayar, penjual soto dan beberapa pegawainya mulai bertanya “bapak mana?”
aku hanya tersenyum menahan air mata. Tidak sanggup menjawab. Lalu mama
bertanya “maunya ke mana?” suaranya parau. Si penjual kembali bertanya “loh
emang kemana, bu?”
“bapak sudah meninggal”
Penjual itu nampak bingung harus bilang apa. Lalu dia berkata
“maaf bu, saya gatau”
“sebenernya sih saya gamau cerita, tapi gapapa deh biar
mas-mas ga pada nyariin aja” mama berikan senyum perih dengan suara lirih dan
air mata tertahan. Setelah pamit pulang kami beranjak menuju mobil. Pulang ke
rumah tanpa berkata apa-apa. Tanpa saling bertegur sapa. Tak ada kentut ataupun
papa.
Cerita ini ditulis 7
bulan setelah kepergian papa, oktober 2010 di mobil mama
Diketik ulang: bandung,
3 februari 2012
10.07 wib di boromeus,
menunggu panggilan bertemu dokter.
Aku urutan antrian
ke-enam, syukurlah biasanya tiga puluh
lima