Pages

Thursday, February 2, 2012

soto


Setelah 7 bulan hanya sekedar melewati tempat itu, akhirnya aku dan mama memberanikan diri untuk sekedar berkunjung.

Masih membekas dalam ingatanku betapa seringnya dulu kami kesana bersama papa. Setiap ada salah satu dari anggota keluarga kami berulang tahun, tidak ada yang minta perayaan di restoran mewah  ataupun hotel ternama. Kami selalu meminta untuk datang ke tenda mungil di tepi jalan itu.




Soto pak kumis namanya. Rasanya mungkin biasa saja, bahkan bagi sebagian orang soto jeroan seperti itu amat menjijikan. Tapi bagi kami, kami jatuh cinta pada makanan itu sejak kami masih jabang bayi. Lebih lama dari itu. Sejak papa dan mama mulai pacaran, dua puluh dua tahun lalu.

Soto pak kumis tidak hanya menyuguhkan kelezatan tetapi juga ingatan indah dalam setiap mangkuknya.  Tempat makan soto pak kumis selalu buka seetelah magrib dan biasanya ramai betul suasananya. Jadi jika kami tiba terlalu larut, pasti sudah kehabisan.
kami empat bersaudara selalu punya cara untuk kembali ke sana meski tak ada satupun di antara kami yang sedang berulang tahun. Kami tidak sarapan atau bahkan makan siang agar bisa melahapsoto dengan sepuasnya. Maka bagi kami, inilah “all you can eat” sesungguhnya. Lalu kami bilang sama papa kalau kami belum makan dari pagi. Selanjutnya kami bujuk saja papa agar membawa kami ke sana. Tepat seperti dugaan kami, papa selalu mudah dirayu. Papa mengiyakan dan lupa kadar kolesterol dan asam uratnya yang tinggi-dulu kami tidak tahu kalau papa menyimpan profil lipid yang di ambang batas. Papa tidak peduli dengan kesehatannya. Baginya yang terpenting adalah sukacita bersama keluarga. Makan malam bersama adalah hal mewah bagi kami. Kami jarang sekedar berkumpul untuk makan malam di rumah, jadi soto ini ya bisa dibilang adalah penyatu kami.

Kami selalu dan entah mengapa selalu saja beradu mulut sebelum tiba di tempat itu. Apa saja bisa menjadi bahan bertengkar, mulai dari hal mungil sampai paling raksasa.

Sesampainya disana kami berlomba untuk duduk dekat papa, karena papa yang paling pasrah kalau daging jatahnya diambil tangan-tangan mungil anak-anaknya yang terkasih. 

Papa selalu bilang “boleh pesan yang banyak asalkan harus habis” maka kalimat inilah yang menciptakan karakter kerakusan dalam diri kami. Tapi kerakusan yang bertanggung jawab. Jadi bukan masalah toh. 

Mama selalu bilang “lepas kancing celana kalau sudah kekenyangan” ini dia pembentuk perut-perut buncit kami yang sampai saat ini masih kami pelihara.

Detik detik terakhir ketika kami akan pulang, papa selalu pakai modus lupa dompet untuk mengelak dari kewajiban membayar mangkuk-mangkuk soto kami. Dan mama selalu manyun kalau disuruh bayar semuanya.

Lalu kami pulang dengan perut kenyang dan rasa puas seperti telah melahap jutaan mangkuk surga. Seringkali saat perjalanan pulang. Adik laki-lakiku terkentut-kentut karena kekenyangan. Secepat kilat dengan keadaan setengah tersedak kentut-sambil menahan nafas setahan-tahannya-kami membuka jendela mobil lalu menghina-dina si kecil
Sesampainya di rumah kami tidur pulas tidak peduli apa yang kami makan akan jadi lemak. Bahkan sampai pagi hari pun, rasa kenyang itu masih bertengger dalam perut kami.
Malam tadi aku datang lagi kesana bersaama mama. Semua masih sama; warna tenda pak kumis yang tetap biru, angin malam, pemusik jalanan dan penjualnya pun tetap sama. Hanya saja malam itu begitu sepi, bukan saja karena sudah larut malam tapi juga kami hanya berdua, dan tak ada papa.


malam itu kami memesan porsi kecil dan menghabiskannya cepat. Saat akan membayar, penjual soto dan beberapa pegawainya mulai bertanya “bapak mana?” aku hanya tersenyum menahan air mata. Tidak sanggup menjawab. Lalu mama bertanya “maunya ke mana?” suaranya parau. Si penjual kembali bertanya “loh emang kemana, bu?”

“bapak sudah meninggal”

Penjual itu nampak bingung harus bilang apa. Lalu dia berkata “maaf bu, saya gatau”
“sebenernya sih saya gamau cerita, tapi gapapa deh biar mas-mas ga pada nyariin aja” mama berikan senyum perih dengan suara lirih dan air mata tertahan. Setelah pamit pulang kami beranjak menuju mobil. Pulang ke rumah tanpa berkata apa-apa. Tanpa saling bertegur sapa. Tak ada kentut ataupun papa.


Cerita ini ditulis 7 bulan setelah kepergian papa, oktober 2010 di mobil mama
Diketik ulang: bandung, 3 februari 2012
10.07 wib di boromeus, menunggu panggilan bertemu dokter.
Aku urutan antrian ke-enam, syukurlah biasanya tiga puluh  lima

0 comments:

Post a Comment